Aceh Utara – Atas dalih perawatan dan pengamanan aset, Universitas Malikussaleh (Unimal) diduga bertindak sewenang-wenang dengan menutup jalan akses antar desa menggunakan pagar besi. Jalan yang selama ini menjadi urat nadi mobilitas warga tiga kecamatan Dewantara, Muara Batu, dan Sawang ditutup sepihak tanpa koordinasi sedikit pun dengan masyarakat.
Aksi ini menyulut gelombang kemarahan warga. Jalan tersebut bukan sekadar lintasan, melainkan infrastruktur vital yang menunjang aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat. Tindakan Unimal dinilai bukan hanya arogan, tapi juga melukai akal sehat publik.
“Jalan itu milik rakyat, bukan kampus! Tak pernah ada surat hibah dari desa. Kalau kampus tak tahu status tanah, jangan main pagar seenaknya!” tegas seorang warga yang menahan emosi.
Sikap Unimal dalam merespons persoalan ini dinilai tidak mencerminkan tanggung jawab institusi akademik. Saat dimintai klarifikasi, Humas Unimal, Kemal, justru memberi jawaban yang terkesan meremehkan.
“Saya cek ke orang gampong, tak ada isu itu. Jalan hanya dibuka saat kampus beroperasi,” tulisnya lewat pesan WhatsApp.
Lebih jauh, ia berdalih bahwa penutupan itu bagian dari sistem keamanan kampus karena sebelumnya sempat terjadi kehilangan aset. Namun, ketika ditanya soal legalitas kepemilikan jalan, Kemal enggan menjawab. Tidak ada bukti administratif yang menunjukkan bahwa jalan tersebut sah dimiliki kampus.
Ketiadaan dokumen resmi membuka ruang spekulasi dan kecurigaan. Warga mendesak kejelasan hukum atas status jalan tersebut dan menolak keras bentuk penutupan yang dianggap sebagai penyerobotan ruang publik.
“Kalau Unimal tak bisa membedakan aset kampus dan fasilitas umum, maka kampus ini sedang kehilangan akalnya,” sindir salah satu tokoh masyarakat.
Tak hanya itu, publik juga menyoroti kemungkinan penyimpangan dana pembangunan jalan yang kabarnya berasal dari proyek ADB. Warga meminta aparat penegak hukum, termasuk Polda Aceh dan Kejaksaan Tinggi, untuk menyelidiki asal-usul anggaran dan keabsahan proyek tersebut.
“Jangan sampai kampus berubah jadi kartel infrastruktur. Ini tanah rakyat, bukan milik siapa-siapa,” tambah warga lainnya.
Kejadian ini menjadi tamparan bagi dunia pendidikan tinggi. Ketika kampus bertindak seperti penguasa lahan, dan jalan rakyat dipagari tanpa dasar hukum, maka yang tersisa hanya satu pertanyaan besar: di mana negara.[rls]