Menuai Sejumlah Persoalan Pasca Pemilihan Suara Ulang di Tahun 2020 -->

Iklan Semua Halaman

Menuai Sejumlah Persoalan Pasca Pemilihan Suara Ulang di Tahun 2020

Redaksi
Rabu, 05 Mei 2021

Labuhanbatu-Pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 17 daerah sebagai kelanjutan Pilkada Serentak 2020 kini menciptakan masalah baru. Di antara 17 daerah yang diperintahkan MK, baru melaksanakannya seperti di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara pada akhir April yang lalu.

Dari daerah yang sudah melaksanakan PSU, timbul pertanyaan tentang apakah paslon pemenang hasil PSU bisa langsung diputuskan oleh KPU setempat, atau harus menunggu putusan MK jika ada paslon lain yang setuju atas hasil PSU? Terhadap paslon yang kalah dalam PSU dan menganggap kembali terjadi kecurangan dalam PSU, adakah kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan keadilan dengan kembali membawa perkara tersebut ke MK?

Ternyata ada ketidakjelasan pengaturan hukum, bahkan bisa pula dikatakan ada kevakuman hukum dalam menjawab pertanyaan di atas. Ketentuan Pasal 54 khususnya ayat 4, 5, 6 dan 7 PKPU No 19 Tahun 2020 masih pembantuan PSU dilaporkan ke MK dan MK akan memeriksa laporan hasil PSU itu. MK bisa memutuskan hasil PSU, bisa memerintahkan PSU sekali lagi, dalam hal setuju atas hasil PSU yang diajukan oleh paslon lain diterima MK. 

Namun putusan MK dalam perselisihan, hasil Pilkada tahun 2020 berbeda dengan putusan PSU sebelumnya. Kalau sebelumnya MK hanya membuat putusan sela dalam memerintahkan PSU dan KPU melaporkan hasil PSU lalu MK memutuskan dalam putusan akhir, kini MK tidak lagi mengeluarkan putusan tetapi keluar putusan akhir. 

Amar Putusan akhir MK antara lain memerintahkan KPU melaksanakan PSU di beberapa tempat. Hasil digabungkan dengan hasil pemungutan suara yang tidak dibatalkan, dan diumumkan KPU tanpa harus melapor ke MK lebih dulu. Ini saya sebut sebagai "putusan gaya baru" MK yang berbeda dengan gaya putusan dalam Pilkada yang pernah ada sebelumnya.

Permasalahannya adalah bagaimana jika hasil PSU ditolak oleh paslon lain, misalnya karena kecurangan kembali terjadi dalam PSU, apakah mereka tidak berhak mengajukan permohonan pembatalan hasil PSU ke MK?

Saya melihat kelemahan KPU dalam mengantisipasi hal di atas pasca putusan gaya baru MK. KPU tidak mengubah dan / atau menambah ketentuan Pasal 54 PKPU No 19 Tahun 2020 pasca bencana putusan gaya baru itu sehingga ketidakpastian dan bahkan kevakuman hukum. Apa yang harus dilakukan KPU di daerah setelah PSU, langsung melakukan rekap dan segera mengumumkan pengumuman paslon pemenang seperti yang terjadi di Kabupaten Labuhanbatu atau harus menunggu putusan MK jika ada sengketa di sana?

Problematika Hukum Putusan Gaya Baru MK dalam Pilkada Serentak 2020

Putusan gaya baru MK dalam Pilkada Serentak 2020 yang merupakan putusan akhir itu juga menimbulkan problema hukum. Putusan akhir MK itu bersifat final dan mengikat, dan tidak ada upaya hukum apapun untuk membatalkannya. Itu benar. Tetapi apa yang final dan mengikat dalam putusan akhir sengketa Pilkada di 17 daerah itu? Amar putusan yang final dan mengikat itu tidak lain tidak adalah perintah agar KPU melaksanakan PSU. Hasil PSU digabungkan dengan hasil suara yang tidak dibatalkan dan diumumkan KPU tanpa harus melapor ke MK. Yang final dan mengikat ya itu. 

Kalau keputusan KPU kewenangan administrasi menjadi kewenangan Bawaslu dan Pengadilan TUN untuk mengadilinya. Kalau keputusannya bergantung pada hasil pemilihan kepala daerah termasuk hasil pemungutan suara ulang-ya tidak ada lembaga lain yang mengadilinya kecuali MK, sebelum ada pengadilan lain yang oleh undang-undang dinyatakan telah mengadilinya.Lantas bagaimana dengan hasil PSU yang digabungkan dengan perolehan suara yang tidak dibatalkan itu, final dan mengikat atau tidak? Jelas tidak, karena hasil PSU yang digabungkan dengan hasil perilehan suara yang tidak dibatalkan itu kesalahan Putusan MK yang final dan mengikat, tetapi adalah sendiri-mata keputusan KPU sebagai penyelenggara pemilu / badan tata usaha negara yang setiap keputusannya dapat diperkarakan di pengadilan. 

Yang menjadi pertanyaan saya adalah bagaimana sikap MK dengan adanya putusan gaya baru ini? Apakah MK akan menolak pendaftaran permohonan perselisihan PSU ini karena tidak ada peraturan pembantuannya? Atau MK akan menolak meregistrasi permohonan karena putusan gaya baru PSU itu sudah final dan mengikat? 

Kalau itu terjadi, MK berarti membiarkan PSU dilaksanakan dengan kemungkinan pengulangan kecurangan, keadaannya sama dengan pemungutan suara terdahulu yang justru menjadi dasar bagi MK untuk memerintahkan PSU. Sebagai lembaga yang menjaga konstitusi dan demokrasi MK tidak boleh membiarkan hal itu terjadi. 

Saya ingin mendengar kabar akademis dari sembilan hakim MK mengenai permasalahan yang serius di atas. Tentu sebagai pertanggungjawaban moral dalam melaksanakan amanah sebagai penegak keadilan, demokrasi dan konstitusi. (Julip ependi)