Media Sosial Sebagai Ladang Tindak Kriminalisasi Pelecehan Verbal, Rentan Berakhir Depresi Terhadap Sang Korban -->

Iklan Semua Halaman

Media Sosial Sebagai Ladang Tindak Kriminalisasi Pelecehan Verbal, Rentan Berakhir Depresi Terhadap Sang Korban

Redaksi
Minggu, 04 Desember 2022

Purwokerto - Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Penyiaran Islam Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN SAIZU) Purwokerto

Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat saat ini, memudahkan Kita dalam berbagai aspek kehidupan. Beberapa diantaranya adalah mudahnya berkomunikasi dan mengakses informasi, salah satunya di bidang media sosial. 

Tetapi seiring dengan perkembangan teknologi yang pesat, terdapat pihak-pihak yang menyalahgunakan fungsi dari media sosial. Menurut survei Good News from Indonesia (GNFI) bersama Kelompok Kajian dan Diskusi Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), mayoritas atau 13,7% responden menyatakan isu utama yang menjadi perhatian generasi muda di tahun 2022 adalah pelecehan verbal khususnya di media sosial.

Pelecehan verbal paling umum terjadi di media sosial seperti Instagram 23%, Facebook 14%, Whatshapp 10%, Twitter 9 % dan selebihnya tersebar di media jejaring sosial lainnya. Media sosial merupakan sebuah wadah online tempat sesorang dapat terhubung dengan orang lain dalam suatu lingkungan media sosial yang sama guna saling berinteraksi. Penyimpangan prilaku kemudian muncul dalam interaksi yang sedang berlangsung seperti pelecehan seksual, bullying, penipuan, dan lain sebagainya.

Berawal dari chat berujung PAP
PAP merupakan singkatan dari "Post a Picture" dalam Bahasa Inggris. Secara umum, arti PAP dalam bahasa Indonesia berarti mengunggah sebuah foto. PAP bisa diartikan sebagai permintaan untuk mengirim foto kepada lawan bicara dalam percakapan di media sosial.
Media sosial menjadi wadah paling rentan untuk menciptakan interaksi ternyaman bagi generasi muda hari ini. Sehingga akan berujung kebodohan dalam berfikir dan bertindak yang mengakibatkan penyesalan dan tak jarang akan menjadi sebuah depresi bagi si korban. Dalam hal ini terdapat dua pihak yang berkomunikasi secara daring dan dua pihak tersebut merupakan pelaku dan korban. Pada saat proses perkenalan yang terjadi sudah ada kata "nyaman" diantara keduanya, si korban memberikan akses lebih untuk bisa berinteraksi lebih intens kepada pelaku. Dalam hal ini pelaku memanfaatkan kesempatan yang diberikan kepada si korban untuk merayu, memuji dan memberikan kata-kata manis agar si korban bisa menuruti kemauan si pelaku nantinya.

Si korban yang terperdaya dengan tidak berfikir panjang akan memberikan kemauan si pelaku yang berujung PAP. Tak khayal banyak korban yang mengirim foto mereka yang mengundang syakhwat pelaku. Lama kelamaan ketika pelaku meminta kepada si korban untuk mengirimkan foto yang tidak senonoh, si korban seakan menuruti dengan alasan sayang ketika sudah ada hubungan khusus diantaranya. Kejadian ini akan terus terjadi secara berulang karena pelaku akan mengancam korban jika korban tidak mengirimkan foto maka akan disebarkan foto tidak senonoh si korban yang pelaku punya. Pelecehan verbal hari ini menjadi sangat rentan dirasakan para generasi muda khususnya para remaja perempuan.

Dampak terhadap Korban Pelecehan Verbal

Dampak yang terjadi pada korban pelecehan verbal di media sosial adalah mudah marah, merasa selalu tidak aman, mengalami gangguan tidur, mimpi buruk, ketakutan, rasa malu yang besar, syok, frustasi, menyalahkan atau mengisolasi diri sendiri, stress, dan depresi. Dampak yang disebutkan diatas merupakan dampak psikis. Dampak pelecehan verbal terhadap psikis tak berhenti sampai disitu saja. Dalam beberapa kasus, pelecehan verbal juga bisa menyebabkan post-traumatic stress disorder (PTSD), terutama bila pelecehan itu mengarah pada penyerangan, perkosaan, intimidasi, hingga penyiksaan seksual.

Dampak psikis ini bisa memicu serangkaian komplikasi, khususnya seputar kesehatan fisik. Mulai dari nyeri otot, sakit kepala, bahkan masalah kesehatan fisik kronis, seperti tekanan darah tinggi dan masalah dengan gula darah, sebab otak dan tubuh manusia saling berkaitan. Kaplan dan Sadock menjelaskan Post-Traumatic Stress Disorder sebagai stres emosional berat dan dapat terjadi pada hampir setiap orang yang mengalami kejadian traumatik.

Urgensi Edukasi Sex
Pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan pada anak sejak usia dini, dalam usaha menjaga anak terbebas dari kebiasaan yang tidak Islami serta menutup segala kemungkinan ke arah hubungan seksual terlarang. Pengarahan dan pemahaman yang sehat tentang seks dari aspek kesehatan fisik, psikis, dan spiritual. Setidaknya dengan bekal pengetahuan sex yang dimiliki mampu membentengi kita dalam berfikir dan bertindak untuk tidak terbuai nafsu duniawi yang menjurus ke arah pelecehan verbal.(julip Ependi)